Dunia kopi terus bergerak. Gelombang ketiga atau Third Wave Coffee membuat banyak orang jatuh cinta pada ritual menyeduh manual brew. Proses yang pelan, penuh detail, dan menghadirkan kenikmatan dari tiap tetes kopi yang menetes. Namun, meski manual brew semakin populer, espresso tetap berdiri kokoh sebagai ikon kopi modern. Bagi sebagian penikmat, espresso justru dianggap sebagai “inti” dari budaya ngopi itu sendiri.
Apa yang Membuat Espresso Berbeda?
Secara sederhana, perbedaan utama antara manual brew dan espresso terletak pada proses ekstraksi. Manual brew melibatkan teknik seduh manual seperti pour over, aeropress, hingga V60, dengan mengatur suhu air dan kecepatan tuang sesuai selera. Semua itu memerlukan waktu lebih panjang karena proses adalah bagian dari kenikmatan.
Espresso bekerja dengan cara berbeda. Mesin espresso menggunakan air panas bertekanan tinggi (high pressure) untuk mengekstraksi kopi. Bubuk kopi yang digunakan harus digiling sangat halus (fine grind), lalu ditempatkan dalam portafilter sebelum dipasangkan ke mesin. Proses ekstraksi ini berlangsung sangat singkat, tapi menghasilkan rasa kopi yang intens, pekat, dan langsung terasa di lidah.
Krema: Ciri Khas Espresso
Salah satu tanda yang langsung terlihat saat menyeruput espresso adalah lapisan krema di permukaannya. Krema terbentuk dari pertemuan air bertekanan tinggi dengan bubuk kopi yang masih segar. Karbondioksida hasil roasting ikut larut, menciptakan gelembung-gelembung kecil yang naik ke permukaan.
Dikutip dari otten coffee, Krema adalah cairan berwarna kuning keemasan yang muncul saat ekstraksi espresso atau biasa juga disebut “Guinness Effect”, yaitu ketika berpadunya lighter liquid dengan darker liquid sehingga memunculkan endapan berwarna kuning keemasan yang mengambang di atas cairan espresso yang pekat.
Kopi segar biasanya menghasilkan lebih banyak krema. Jika secangkir espresso tampak miskin krema, besar kemungkinan biji kopinya sudah tidak terlalu segar. Selain itu, warna krema juga bisa menjadi indikator rasa. Semakin gelap warnanya, semakin kuat karakter espresso tersebut.
Kandungan Kafein Siapa yang Lebih Tinggi?
Banyak orang mengira espresso punya kafein lebih tinggi karena rasanya lebih pahit dan pekat. Padahal, tak selalu begitu. Kandungan kafein ditentukan oleh jumlah kopi yang digunakan, bukan hanya dari cara penyeduhan.
Otten Coffee dalam salah satu artikelnya ditulis bahwa Espresso memang terasa lebih pahit dibandingkan manual brew, namun bukan berarti kandungan kafeinnya lebih tinggi. Perbedaan utamanya terletak pada cara penyeduhan dan takaran kopi yang digunakan. Kandungan kafein sebenarnya lebih dipengaruhi oleh jumlah kopi yang diseduh, sehingga dalam porsi manual brew yang biasanya lebih banyak volumenya, kafein yang terkandung bisa justru lebih tinggi dibandingkan segelas espresso.
Satu shot espresso memang terasa kuat, tapi porsinya kecil, sekitar 30 ml. Sedangkan manual brew, seperti pour over, biasanya menggunakan lebih banyak bubuk kopi dan menghasilkan minuman hingga bercangkir-cangkir. Itu artinya, jika dihitung total kafein, manual brew bisa saja lebih tinggi dibandingkan espresso.
Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah jenis kopi yang dipakai. Robusta secara alami memiliki kafein lebih tinggi dibanding arabika. Jadi, meskipun sama-sama diseduh dengan metode berbeda, hasil akhirnya bisa bervariasi tergantung bahan baku dan takaran.
Jadi, Pilih Espresso atau Manual Brew?
Espresso dan manual brew bukan soal mana yang lebih unggul, melainkan soal gaya menikmati kopi. Espresso cocok untuk mereka yang ingin rasa kuat, cepat, dan praktis. Sementara manual brew lebih pas bagi pecinta proses yang menikmati detail penyeduhan.
Pada akhirnya, baik espresso maupun manual brew sama-sama dilakukan dengan teknik yang penuh dengan ketelitian demi mendapatkan cita rasa kopi terbaik. Satu sisi memberi intensitas, sisi lain menghadirkan ketenangan. Tinggal pilih, kamu tim “shot cepat” atau tim “ritual panjang”?