Bubur ayam barangkali menjadi salah satu sajian paling familiar bagi masyarakat Indonesia. Ditemui mulai dari kaki lima hingga hotel berbintang, makanan berbahan dasar nasi yang dimasak menjadi bubur ini bukan hanya sekadar menu sarapan, melainkan telah menjadi bagian dari budaya makan masyarakat urban hingga pedesaan. Tapi tahukah Anda bahwa bubur ayam bukanlah kuliner asli Indonesia? Simak fakta menarik bubur ayam
Asal Usul Bubur Ayam: Warisan Diaspora Tionghoa
Sejarah mencatat bahwa bubur ayam memiliki akar kuat dari budaya kuliner Tiongkok, tepatnya dari makanan bernama congee. Dalam dialek Kanton, makanan ini disebut “juk”, yang berarti nasi yang dimasak dalam jumlah air sangat banyak hingga menjadi lembut. Makanan ini telah dikenal sejak zaman Dinasti Zhou (sekitar 1.000 SM), dan menjadi makanan pokok saat musim dingin atau ketika seseorang sedang dalam masa penyembuhan.
Dalam buku “The Food of China” oleh E.N. Anderson (1988), congee disebut sebagai bentuk pemanfaatan beras yang sangat ekonomis sekaligus fungsional, karena mampu dikonsumsi oleh semua kalangan—anak-anak, lansia, hingga pasien rumah sakit.
Masuknya bubur ke wilayah Nusantara diperkirakan terjadi pada masa awal migrasi etnis Tionghoa ke Hindia Belanda sekitar abad ke-15 hingga ke-17. Di Indonesia, bubur lantas mengalami proses asimilasi dan modifikasi bahan yang menyesuaikan dengan cita rasa lokal, seperti penambahan ayam suwir, kerupuk, hingga sambal khas Indonesia.
Transformasi Lokal: Bubur Ayam dan Kearifan Rasa Indonesia
Berbeda dengan versi Tiongkok yang cenderung polos, bubur ayam di Indonesia hadir dengan beragam pelengkap yang menjadikannya kaya rasa dan tekstur.
Suwiran Ayam dan Kuah Kuning
Salah satu elemen pembeda utama bubur ayam Indonesia adalah adanya suwiran ayam kampung yang direbus atau digoreng, lalu ditabur di atas bubur. Tidak cukup sampai di situ, biasanya juga ditambahkan kuah kuning berbumbu rempah, seperti kunyit, bawang putih, ketumbar, dan daun salam.
Menurut pakar gastronomi William Wongso, kehadiran kuah ini adalah bentuk “lokalisasi rasa” yang menyesuaikan dengan profil rempah Nusantara, berbeda dari bubur Tionghoa yang lebih minimalis.
“Indonesia selalu punya kecenderungan membuat hidangan menjadi kompleks dan berlapis, sehingga bahkan bubur pun tidak luput dari sentuhan bumbu.” — William Wongso, dalam kuliah umum FIB UI, 2019.
Baca Juga:
Seblak Kini Comfort Food Masyarakat Indonesia
Variasi Regional: Bubur Ayam dalam Lintas Wilayah Indonesia
Bubur ayam bukanlah satu bentuk seragam di seluruh Indonesia. Tiap daerah memiliki gaya penyajian berbeda yang merepresentasikan kearifan lokal masing-masing.
Bubur Ayam Jakarta

Versi ini adalah yang paling umum dijumpai di kota-kota besar. Bubur cenderung kental, disiram kuah kuning, dan dilengkapi topping seperti kerupuk, cakwe, kacang kedelai goreng, dan seledri.
Menurut riset Litbang Kompas (2021), bubur ayam Jakarta menjadi versi paling populer di platform GoFood dan GrabFood, dengan pencarian terbanyak pada waktu antara pukul 06.00 hingga 09.00 pagi.
Tak jarang pula ditemukan tambahan seperti ati ampela, telur pindang, hingga sate usus, yang menjadikan bubur ayam ini sangat “mewah” untuk ukuran sarapan.
Bubur Ayam Cianjur

Bubur ayam Cianjur memiliki karakter bubur yang lebih encer dan tidak memakai kuah kuning. Alih-alih kuah, rasa gurih diperoleh dari rebusan kaldu ayam yang dimasak lama. Porsinya besar, dan sering disajikan dengan keripik tempe dan sambal yang lebih ringan.
Bubur Ayam Sukabumi

Versi ini menambahkan elemen kentang kering goreng dan terkadang bawang bombay tumis. Kuahnya sangat kental dan nyaris seperti kari ringan, cocok bagi penyuka bubur berkuah banyak.
Bubur Ayam Bandung

Unik karena biasanya disajikan dalam mangkuk kecil bertumpuk, dan disertai dengan sambal hijau serta taburan bawang goreng yang sangat banyak. Di beberapa tempat, juga ditambahkan abon sapi sebagai topping opsional.
Fungsi Gizi dan Kandungan Nutrisi
Bubur ayam bukan hanya populer karena kenyamanan rasanya, tetapi juga karena kemampuannya memenuhi kebutuhan nutrisi pagi hari. Dalam satu porsi bubur ayam lengkap (300 gram), terkandung:
- Kalori: ±250–300 kkal
- Protein: 10–12 gram
- Karbohidrat: 40–50 gram
- Lemak: 7–10 gram
Menurut ahli gizi dari PERSAGI, bubur ayam bisa menjadi pilihan sarapan ideal jika tidak terlalu banyak minyak, terutama jika tidak digoreng dan menggunakan ayam rebus tanpa kulit.
Debat Abadi: Diaduk vs Tidak Diaduk
Perdebatan ini tidak bisa dihindari dan telah menjadi budaya populer. Bahkan dalam polling yang dilakukan akun Twitter @FOODFESS pada 2022, sebanyak:
- 58% responden mengaku mengaduk bubur terlebih dahulu,
- sementara 42% lebih memilih menikmatinya per lapis.
Psikolog makanan, Alissa Nutriani, dalam wawancara dengan Kompas.com menyebut bahwa cara seseorang menikmati bubur bisa menggambarkan gaya pengambilan keputusan: apakah tipe menyeluruh (diaduk) atau bertahap (tidak diaduk).
Bubur Ayam dan Perannya dalam Budaya Makan Nasional
Tak berlebihan jika bubur ayam disebut sebagai salah satu simbol comfort food di Indonesia. Ia menjadi pilihan utama saat sakit, makanan ringan sebelum olahraga, bahkan solusi sarapan anak-anak.
Bahkan dalam survei Nielsen pada 2020, bubur ayam menempati posisi ke-3 makanan sarapan terpopuler di Indonesia, setelah nasi uduk dan nasi kuning.
Bubur Ayam, Simbol Asimilasi dan Adaptasi
Bubur ayam adalah bukti nyata bagaimana budaya kuliner bisa berpindah, beradaptasi, dan menjadi milik bersama. Dari dapur Tiongkok ke warung tenda di gang-gang sempit Jakarta, dari panci kaldu hingga mangkuk plastik di ojek online—bubur ayam terus bertahan karena ia fleksibel, penuh makna, dan selalu bisa diandalkan.
Ayo kita bersama untuk tak hanya sekadar makan bubur ayam, tapi juga menghargai kisah di baliknya. Karena setiap sendok bubur, menyimpan jejak budaya yang layak dihargai.